Datuk ri Tiro yang bernama asli
Nurdin Ariyani/Abdul Jawad dengan gelar Khatib Bungsu adalah seorang ulama dari
Koto Tangah, Minangkabau yang menyebarkan agama Islam ke kerajaan-kerajaan di
Sulawesi Selatan serta Kerajaan Bima di Nusa Tenggara sejak kedatangannya pada
penghujung abad ke-16 hingga akhir hayatnya. Dia bersama dua orang saudaranya
yang juga ulama, yaitu Datuk Patimang yang bernama asli Datuk Sulaiman dan
bergelar Khatib Sulung serta Datuk ri Bandang yang bernama asli Abdul Makmur
dengan gelar Khatib Tunggal menyebarkan agama Islam ke kerajaan-kerajaan yang
ada di wilayah timur nusantara pada masa itu.
Pada tahun 1604 M, Al Maulana
Khatib Bungsu menyiarkan agama Islam di Tiro (Bulukumba) dan sekitarnya. Adapun
raja yang pertama diislamkan dalam kerajaan Tiro adalah Launru Daeng Biasa yang
bergelar Karaeng Ambibia. Launru Daeng Biasa adalah cucu ke empat dari Karaeng
Samparaja Daeng Malaja yang bergelar Karaeng Sapo Batu yang merupakan raja
pertama di Tiro.
A.
Dakwah
Islam
Datuk ri Tiro bersama dua saudaranya, Datuk ri Bandang dan
Datuk Patimang menyebarkan agama Islam di wilayah Sulawesi Selatan dengan
menyesuaikan keahlian yang mereka miliki masing-masing dengan situasi dan
kondisi masyarakat yang akan mereka hadapi. Datuk ri Tiro yang ahli tasawuf
melakukan syiar Islam di wilayah selatan, yaitu Tiro, Bulukumba, Bantaeng dan
Tanete, yang masyarakatnya masih kuat memegang budaya sihir dan
mantera-mantera. Sedangkan Datuk Patimang yang ahli tentang tauhid telah lebih
dulu menyiarkan Islam di wilayah utara yaitu Kerajaan Luwu (Suppa, Soppeng,
Luwu) yang masyarakatnya masih menyembah dewa-dewa. Sementara itu Datuk ri
Bandang yang ahli fikih berdakwah di wilayah tengah yaitu Kerajaan Gowa dan
Tallo (Gowa, Takalar, Jeneponto dan Bantaeng) yang masyarakatnya senang dengan
perjudian, mabuk minuman keras serta menyabung ayam. Belakangan Datuk ri Tiro
dan Datuk ri Bandang juga menyiarkan Islam ke Kerajaan Bima, Nusa Tenggara
B.
Wafat
Setelah beberapa lama
melaksanakan dakwah Islam, akhirnya Khatib Bungsu atau Datuk ri Tiro berhasil
mengajak raja Karaeng Tiro (Sulawesi Selatan) serta raja Bima (Nusa Tenggara)
masuk Islam. Sang pendakwah itu tidak kembali lagi ke Minangkabau sampai akhir
hayatnya dan dimakamkan di Tiro atau sekarang Bontotiro.
C.
Makam
Makam Al Maulana Khatib Bungsu
terletak di Kelurahan Eka Tiro, Kecamatan Bontotiro, Kabupaten Bulukumba. Makam
ini berjarak 44 km dari kota Bulukumba, setiap hari makam ini banyak dikunjungi
oleh para peziarah dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan bahkan ada yang
dari luar pulau seperti dari Sumatera dan Jawa.
Tidak ada informasi yang jelas
kapan Dato Tiro wafat dan dimana tempatnya, namun yang pasti di Dusun Hila-hila
Kelurahan Eka Tiro Kecamatan Bontotiro ada sebuah makam yang dipercaya
masyarakat sebagai makam Dato Tiro penyebar agama Islam pertama di Kabupaten
Bulukumba.
D.
Masjid
Nurul Hilal Dato Tiro
Mesjid Nurul Hilal Dato Tiro
(sebelum tahun 1997 bernama Masjid Hila-Hila) adalah masjid yang terdapat di
Kecamatan Bonto Tiro, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan,
Indonesia. Masjid peninggalan Al Maulana Khatib Bungsu atau Dato Tiro, seorang
ulama penyebar agama Islam, ini merupakan masjid tertua di Bulukumba yang
didirikan pada tahun 1605 M. Masjid ini terletak sekitar 36 kilometer dari
pusat Kota Bulukumba. Keunikan masjid ini adalah kubahnya yang berbentuk
menyerupai rumah adat Jawa yang terdiri dari tiga tingkat, sedangkan arsitektur
dinding jendela diambil dari rumah khas Sulawesi Selatan, Tongkonan.
Masjid Nurul Hilal Dato Tiro
Di luar masjid terdapat dua buah
menara setinggi 20 meter, sedangkan di dalam masjid ini terdapat empat buah
tiang dan sejumlah tulisan kaligrafi yang berada di sudut dinding masjid. Di
samping masjid ini terdapat sebuah kolam yang dinamai kolam hila-hila. Konon
kabarnya, mata air yang keluar dari dasar kolam tersebut awalnya berasal saat
Dato Tiro membuat garis menggunakan tongkatnya hingga mengeluarkan air yang
berkelok-kelok seperti ular. Kolam inilah yang menjadi daya tarik pariwisata,
selain makam Dato Tiro yang terletak sekitar 100 meter dari masjid. Masjid ini
telah mengalami lima kali renovasi. Renovasi pertama kali dilakukan pada tahun
1625, sedangkan renovasi terakhir kali dilakukan pada tahun 1998. Sejak
berdiri, masjid ini bernama Masjid Hila-Hila hingga pada tahun 1997 namanya
diganti menjadi Masjid Nurul Hilal Dato Tiro.
Referensi